Selasa, 10 September 2013

zaman logam


ZAMAN LOGAM
Zaman logam terdiri dari tiga zaman yaitu zaman perunggu, tembaga, dan besi. Zaman logam merupakan masa di mana kehidupan semakin lebih maju. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam. Sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai manusia dalam meningkatkan taraf penghidupannya maka tata susunan masyarakat menjadi semakin kompleks. Pembagian kerja semakin ketat dan membutuhkan ketrampilan-ketrampilan tertentu. Oleh karena itu, muncul kelompok-kelompok masyarakat yang terampil (undagi) berdasarkan bidang masing-masing seperti ahli membuat rumah, ahli gerabah, ahli logam, dan sebagainya.

Pada zaman pembagian ini masyarakat yang hidup dari bercocok tanam mengalami tingkat kemajuan. Jika sebelumnya hanya dilakukan secara sistem ladang, sekarang menggunakan sistem persawahan.
Ciri-ciri Zaman Logam
Kehidupan perdagangan juga berkembang pada masa ini. Perdagangan sudah dilakukan antar pulau di Indonesia dan antara kepulauan Indonesia dengan kawasan Asia Tenggara dengan sistem barter. Barang-barang yang dipertukarkan ialah nekara perunggu, moko, manik-manik, rempah-rempah, jenis-jenis kayu, dan timah.

Yang sangat menonjol pada masa perundagian ini ialah kepercayaan. Penguburan orang yang meninggal dilaksanakan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penguburan langsung, mayat langsung dikuburkan di tanah atau ditempatkan dalam sebuah wadah di dalam tanah. Penguburan tidak langsung dilakukan dengan menguburkan mayat terlebih dahulu dalam tanah atau peti kayu berbentuk perahu. Kuburan ini sifatnya sementara. Setelah mayatnya menjadi rangka diambil dan dibersihkan, baru dikuburkan lagi dalam tempayan atau kubur batu.

Kemajuan dalam bidang teknik pengolahan logam dapat dilihat dari peninggalan yang ditinggalkan. Barang-barang logam itu antara lain nekara, kapak corong, arca perunggu, candrasa, gelang kaki, anting-anting, kalung, dan cincin.

ZAMAN BATU NEOLITIKUM
Zaman neolitikum (zaman batu baru) kehidupan masyarakatnya semakin maju. Manusia tidak hanya sudah hidup secara menetap tetapi juga telah bercocok tanam. Masa ini penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan dijinakkan. Hutan belukar mulai dikembangkan, untuk membuat ladang-ladang. Dalam kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah menguasai lingkungan alam beserta isinya.

Masyarakat pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam suatu perkampungan yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah mereka masih kecil-kecil berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Rumah ini diduga merupakan corak rumah paling tua di Indonesia yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman. Kemudian barulah dibangun bentuk-bentuk yang lebih besar dengan menggunakan tiang. Rumah ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa keluarga inti. Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan dengan ladang-ladang mereka atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun bertiang itu dalam rangka menghindari bahaya dari banjir dan binatang buas.

Oleh karena mereka sudah hidup menetap dalam suatu perkampungan maka tentunya dalam kegiatan membangun rumah mereka melaksanakan secara bergotong-royong. Gotong-royong tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah, tetapi juga dalam menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil tanaman, membuat gerabah, berburu, dan menangkap ikan.
Ciri-ciri Zaman Batu Neolitikum (Zaman Batu Muda)
Masyarakat bercocok tanam ini memiliki ciri yang khas. Salah satunya ialah sikap terhadap alam kehidupan sudah mati. Kepercayaan bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Biasanya yang meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan, periuk, dan lain-lain agar perjalanan si mati ke alam arwah terjalin keselamatannya.

Jasad seseorang yang telah mati dan mempunyai pengaruh kuat biasanya diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Jadi, bangunan itu menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan lambang si mati. Bangunan-bangunan yang dibuat dengan menggunakan batu-batu besar itu pada akhirnya melahirkan kebudayaan yang dinamakan megalitikum (batu besar).

Kemajuan masyarakat dalam masa neolitikum ini tidak saja dapat dilihat dari corak kehidupan mereka, tetapi juga bisa dilihat dari hasil-hasil peninggalan budaya mereka. Yang jelas mereka semakin meningkat kemampuannya dalam membuat alat-alat kebutuhan hidup mereka. Alat-alat yang berhasil mereka kembangkan antara lain: beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, mata panah, gerabah, perhiasan, dan bangunan megaltikum.

Beliung persegi ditemukan hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama bagian barat seperti desa Sikendeng, Minanga Sipakka dan Kalumpang (Sulwasei), Kendenglembu (Banyuwangi), Leles Garut (Jawa Barat), dan sepanjang aliran sungai Bekasi, Citarum, Ciherang, dan Ciparege (Rengasdengklok). Beliung ini digunakan untuk alat upacara.

Kapak lonjong ditemukan terbatas hanya di wilayah Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Meluku, Leti, Tanibar dan Papua. Kapak ini umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah sehingga menghasilkan bentuk tajaman yang simetris.

Alat-alat obsidian merupakan alat-alat yang dibuat dari batu kecubung. Alat-alat obsidian ini berkembang secara terbatas di beberapa tempat saja, seperti: dekat Danau Kerinci (Jambi), Danau Bandung dan Danau Cangkuang Garut, Leuwiliang Bogor, Danau Tondano (Minahasa), dan sedikit di Flores Barat.

ZAMAN MESOLITIKUM
Pada tahun 1925, Van Stein Callenfels meneliti di sepanjang pantai timur Sumatra bagian utara tepatnya di antara Langsa (Aceh) dan Langkat (Sumatra Utara). Ia menemukan tumpukan kulit kerang yang membukit dan diberi nama kjokkenmoddinger (sampah-sampah dapur).

Dari hasil penelitiannya, ditemukan tulang belulang, gigi, dan tengkorak-tengkorak manusia yang menunjukkan ciri-ciri Australomelanesoid. Selain itu juga ditemukan kapak-kapak genggam yang berbeda dengan kapak genggam masa paleolitikum. Kapak itu terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Nama kapak itu sering disebut pebble atau kapak Sumatra. Kapak lainnya yang ditemukan adalah kapak pendek (hache courte) dan batu-batu penggiling beserta landasannya (pipisan). Pipisan selain digunakan untuk keperluan menggiling makanan, juga digunakan untuk menghaluskan cat merah. Cat ini digunakan untuk acara keagamaan atau ilmu sihir.

Van Stein Callenfels juga menemukan gua-gua berbentuk ceruk terbuat dari batu-batu karang dan berfungsi sebagai tempat tinggal (abris sous roche) pada tahun 1928-1931 di Gua Lawa dekat Sampung Ponorogo (Jawa Timur). Di dalam gua-gua tersebut ditemukan peralatan seperti alat-alat tulang, alat serpih, dan panah bergerigi yang menyerupai gergaji.

Daerah lain yang menunjukkan terdapatnya kebudayaan mesolitikum adalah Lamoncong, daerah orang-orang Toala (Sulawesi Selatan). Selama tahun 1893-1896 ada dua orang bersaudara yang meneliti kehidupan orang-orang Toala yaitu Frtiz Sarasin dan Paul Sarasin. Mereka menemukan alat-alat serpih dan alat-alat dari tulang.
Zaman Batu Mesolitikum (Zaman Batu Tengah)
Penyebaran kebudayaan mesolitikum ini dapat juga ditemukan di gua-gua Flores antara lain Liang Toge, Liang Momer, dan Liang Panas, gua-gua pulau Roti, dan gua-gua daerah Soe di Timor.

Penelitian yang dilakukan Von Koenigswald di dataran tinggi Bandung yaitu Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, Banjaran, Soreang, dan Cililin menunjukkan bahwa di sini banyak ditemukan alat serpih. Alat serpih ini terbuat dari batu indah berwarna hitam yang disebut obsidian.

Persebaran kebudayaan mesolitikum nampaknya berkaitan dengan kebudayaan Bascon-Hoabinh di daerah Tonkin Indo-China. Sebab kebudayaan Bascon-Hoabinh memiliki banyak persamaan dengan alat-alat batu dan alat-alat tulang yang ada di Indonesia. Menurut penelitian, Tonkin itu merupakan pusat dan kebudayaan mesolitikum Asia Tenggara. Kebudayaan tersebut masuk ke Indonesia melalui dua jalan, yaitu:
1. Jalan Barat, yaitu dari Bascon-Hoabinh terus ke Thailand, Malaysia Barat, Sumatra Timur yang membawa kapak genggam dan alat-alat dari tulang.
2. Jalan Timur, yaitu dari Bascon-Hoabinh terus ke Luzon Filipina, Sulawesi, dan ke Timor yang membawa kebudayaan alat serpih.

Kehidupan masyarakat pada masa mesolitikum ini sudah mulai mengelompok. Mereka yang tinggal di gua-gua melangsungkan kehidupan di sana selama di daerah sekitarnya terdapat sumber-sumber hidup yang mencukupi untuk kebutuhan mereka. Apabila kebutuhan mereka untuk hidup tidak lagi dapat dipenuhi oleh alam sekitar mereka maka mereka akan berpindah mencari tempat yang baru. Mereka sudah mengenal pembagian kerja. Pembagian kerja itu berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Perempuan mengurus anak-anak, membuat barang anyaman, mengumpulkan sayur-sayuran, buah-buahan, dan binatang-binatang kerang. Sementara, orang lelaki memburu binatang-binatang besar dan memerangi suku-suku yang memusuhi mereka.

Selama bertempat tinggal di dalam gua-gua, mereka selain mengerjakan alat-alat yang diperlukannya juga melukiskan sesuatu di dinding-dinding karang atau gua dengan menggunakan bahan-bahan cat yang berwarna seperti merah, hitam, atau putih. Sumber inspirasi dari lukisan adalah cara hidup mereka yang serba tergantung ke alam lingkungannya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan. Misalnya, lukisan yang terdapat di dinding gua leang Pattae (Sulawesi Selatan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar