ZAMAN LOGAM
Zaman logam
terdiri dari tiga zaman yaitu zaman perunggu, tembaga, dan besi. Zaman logam
merupakan masa di mana kehidupan semakin lebih maju. Pada masa ini masyarakat
sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam. Sejalan dengan kemajuan-kemajuan
yang dicapai manusia dalam meningkatkan taraf penghidupannya maka tata susunan
masyarakat menjadi semakin kompleks. Pembagian kerja semakin ketat dan
membutuhkan ketrampilan-ketrampilan tertentu. Oleh karena itu, muncul
kelompok-kelompok masyarakat yang terampil (undagi) berdasarkan bidang
masing-masing seperti ahli membuat rumah, ahli gerabah, ahli logam, dan
sebagainya.
Pada zaman
pembagian ini masyarakat yang hidup dari bercocok tanam mengalami tingkat
kemajuan. Jika sebelumnya hanya dilakukan secara sistem ladang, sekarang
menggunakan sistem persawahan.
Kehidupan
perdagangan juga berkembang pada masa ini. Perdagangan sudah dilakukan antar
pulau di Indonesia dan antara kepulauan Indonesia dengan kawasan Asia Tenggara
dengan sistem barter. Barang-barang yang dipertukarkan ialah nekara perunggu,
moko, manik-manik, rempah-rempah, jenis-jenis kayu, dan timah.
Yang sangat
menonjol pada masa perundagian ini ialah kepercayaan. Penguburan orang yang
meninggal dilaksanakan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Penguburan langsung, mayat langsung dikuburkan di tanah atau
ditempatkan dalam sebuah wadah di dalam tanah. Penguburan tidak langsung
dilakukan dengan menguburkan mayat terlebih dahulu dalam tanah atau peti kayu
berbentuk perahu. Kuburan ini sifatnya sementara. Setelah mayatnya menjadi
rangka diambil dan dibersihkan, baru dikuburkan lagi dalam tempayan atau kubur
batu.
Kemajuan
dalam bidang teknik pengolahan logam dapat dilihat dari peninggalan yang
ditinggalkan. Barang-barang logam itu antara lain nekara, kapak corong, arca
perunggu, candrasa, gelang kaki, anting-anting, kalung, dan cincin.
ZAMAN BATU NEOLITIKUM
Zaman
neolitikum (zaman batu baru) kehidupan masyarakatnya semakin maju. Manusia
tidak hanya sudah hidup secara menetap tetapi juga telah bercocok tanam. Masa
ini penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban karena pada
masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan
dijinakkan. Hutan belukar mulai dikembangkan, untuk membuat ladang-ladang.
Dalam kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah menguasai lingkungan alam
beserta isinya.
Masyarakat
pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam suatu perkampungan yang
dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah mereka masih kecil-kecil
berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Rumah ini
diduga merupakan corak rumah paling tua di Indonesia yang sampai sekarang masih
dapat ditemukan di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman. Kemudian
barulah dibangun bentuk-bentuk yang lebih besar dengan menggunakan tiang. Rumah
ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa keluarga inti.
Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan dengan ladang-ladang mereka
atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun bertiang itu dalam rangka
menghindari bahaya dari banjir dan binatang buas.
Oleh karena
mereka sudah hidup menetap dalam suatu perkampungan maka tentunya dalam kegiatan
membangun rumah mereka melaksanakan secara bergotong-royong. Gotong-royong
tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah, tetapi juga dalam menebang hutan,
membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil tanaman, membuat gerabah,
berburu, dan menangkap ikan.
Masyarakat
bercocok tanam ini memiliki ciri yang khas. Salah satunya ialah sikap terhadap
alam kehidupan sudah mati. Kepercayaan bahwa roh seseorang tidak lenyap pada
saat orang meninggal sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Upacara yang paling
menyolok adalah upacara pada waktu penguburan terutama bagi mereka yang
dianggap terkemuka oleh masyarakat. Biasanya yang meninggal dibekali
bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan, periuk, dan
lain-lain agar perjalanan si mati ke alam arwah terjalin keselamatannya.
Jasad
seseorang yang telah mati dan mempunyai pengaruh kuat biasanya diabadikan
dengan mendirikan bangunan batu besar. Jadi, bangunan itu menjadi medium
penghormatan, tempat singgah, dan lambang si mati. Bangunan-bangunan yang
dibuat dengan menggunakan batu-batu besar itu pada akhirnya melahirkan
kebudayaan yang dinamakan megalitikum (batu besar).
Kemajuan
masyarakat dalam masa neolitikum ini tidak saja dapat dilihat dari corak
kehidupan mereka, tetapi juga bisa dilihat dari hasil-hasil peninggalan budaya
mereka. Yang jelas mereka semakin meningkat kemampuannya dalam membuat
alat-alat kebutuhan hidup mereka. Alat-alat yang berhasil mereka kembangkan
antara lain: beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, mata panah,
gerabah, perhiasan, dan bangunan megaltikum.
Beliung
persegi ditemukan hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama bagian barat
seperti desa Sikendeng, Minanga Sipakka dan Kalumpang (Sulwasei), Kendenglembu
(Banyuwangi), Leles Garut (Jawa Barat), dan sepanjang aliran sungai Bekasi,
Citarum, Ciherang, dan Ciparege (Rengasdengklok). Beliung ini digunakan untuk
alat upacara.
Kapak
lonjong ditemukan terbatas hanya di wilayah Indonesia bagian timur seperti
Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Meluku, Leti, Tanibar dan Papua. Kapak ini
umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman.
Bagian tajaman diasah dari dua arah sehingga menghasilkan bentuk tajaman yang
simetris.
Alat-alat
obsidian merupakan alat-alat yang dibuat dari batu kecubung. Alat-alat obsidian
ini berkembang secara terbatas di beberapa tempat saja, seperti: dekat Danau
Kerinci (Jambi), Danau Bandung dan Danau Cangkuang Garut, Leuwiliang Bogor,
Danau Tondano (Minahasa), dan sedikit di Flores Barat.
ZAMAN MESOLITIKUM
Pada tahun
1925, Van Stein Callenfels meneliti di sepanjang pantai timur Sumatra bagian
utara tepatnya di antara Langsa (Aceh) dan Langkat (Sumatra Utara). Ia
menemukan tumpukan kulit kerang yang membukit dan diberi nama kjokkenmoddinger
(sampah-sampah dapur).
Dari hasil
penelitiannya, ditemukan tulang belulang, gigi, dan tengkorak-tengkorak manusia
yang menunjukkan ciri-ciri Australomelanesoid. Selain itu juga ditemukan
kapak-kapak genggam yang berbeda dengan kapak genggam masa paleolitikum. Kapak
itu terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Nama kapak itu sering
disebut pebble atau kapak Sumatra. Kapak lainnya yang ditemukan adalah
kapak pendek (hache courte) dan batu-batu penggiling beserta landasannya
(pipisan). Pipisan selain digunakan untuk keperluan menggiling makanan, juga
digunakan untuk menghaluskan cat merah. Cat ini digunakan untuk acara keagamaan
atau ilmu sihir.
Van Stein
Callenfels juga menemukan gua-gua berbentuk ceruk terbuat dari batu-batu karang
dan berfungsi sebagai tempat tinggal (abris sous roche) pada tahun
1928-1931 di Gua Lawa dekat Sampung Ponorogo (Jawa Timur). Di dalam gua-gua
tersebut ditemukan peralatan seperti alat-alat tulang, alat serpih, dan panah
bergerigi yang menyerupai gergaji.
Daerah lain
yang menunjukkan terdapatnya kebudayaan mesolitikum adalah Lamoncong, daerah
orang-orang Toala (Sulawesi Selatan). Selama tahun 1893-1896 ada dua orang
bersaudara yang meneliti kehidupan orang-orang Toala yaitu Frtiz Sarasin dan
Paul Sarasin. Mereka menemukan alat-alat serpih dan alat-alat dari tulang.
Penyebaran
kebudayaan mesolitikum ini dapat juga ditemukan di gua-gua Flores antara lain
Liang Toge, Liang Momer, dan Liang Panas, gua-gua pulau Roti, dan gua-gua
daerah Soe di Timor.
Penelitian
yang dilakukan Von Koenigswald di dataran tinggi Bandung yaitu Padalarang,
Bandung Utara, Cicalengka, Banjaran, Soreang, dan Cililin menunjukkan bahwa di
sini banyak ditemukan alat serpih. Alat serpih ini terbuat dari batu indah
berwarna hitam yang disebut obsidian.
Persebaran
kebudayaan mesolitikum nampaknya berkaitan dengan kebudayaan Bascon-Hoabinh
di daerah Tonkin Indo-China. Sebab kebudayaan Bascon-Hoabinh memiliki banyak
persamaan dengan alat-alat batu dan alat-alat tulang yang ada di Indonesia.
Menurut penelitian, Tonkin itu merupakan pusat dan kebudayaan mesolitikum Asia
Tenggara. Kebudayaan tersebut masuk ke Indonesia melalui dua jalan, yaitu:
1. Jalan
Barat, yaitu dari Bascon-Hoabinh terus ke Thailand, Malaysia Barat, Sumatra
Timur yang membawa kapak genggam dan alat-alat dari tulang.
2. Jalan
Timur, yaitu dari Bascon-Hoabinh terus ke Luzon Filipina, Sulawesi, dan ke
Timor yang membawa kebudayaan alat serpih.
Kehidupan
masyarakat pada masa mesolitikum ini sudah mulai mengelompok. Mereka yang
tinggal di gua-gua melangsungkan kehidupan di sana selama di daerah sekitarnya
terdapat sumber-sumber hidup yang mencukupi untuk kebutuhan mereka. Apabila
kebutuhan mereka untuk hidup tidak lagi dapat dipenuhi oleh alam sekitar mereka
maka mereka akan berpindah mencari tempat yang baru. Mereka sudah mengenal
pembagian kerja. Pembagian kerja itu berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Perempuan mengurus anak-anak, membuat barang anyaman, mengumpulkan
sayur-sayuran, buah-buahan, dan binatang-binatang kerang. Sementara, orang
lelaki memburu binatang-binatang besar dan memerangi suku-suku yang memusuhi
mereka.
Selama
bertempat tinggal di dalam gua-gua, mereka selain mengerjakan alat-alat yang
diperlukannya juga melukiskan sesuatu di dinding-dinding karang atau gua dengan
menggunakan bahan-bahan cat yang berwarna seperti merah, hitam, atau putih.
Sumber inspirasi dari lukisan adalah cara hidup mereka yang serba tergantung ke
alam lingkungannya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan. Misalnya, lukisan
yang terdapat di dinding gua leang Pattae (Sulawesi Selatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar