ZAMAN MESOLITIKUM
Pada tahun
1925, Van Stein Callenfels meneliti di sepanjang pantai timur Sumatra bagian
utara tepatnya di antara Langsa (Aceh) dan Langkat (Sumatra Utara). Ia
menemukan tumpukan kulit kerang yang membukit dan diberi nama kjokkenmoddinger
(sampah-sampah dapur).
Dari hasil
penelitiannya, ditemukan tulang belulang, gigi, dan tengkorak-tengkorak manusia
yang menunjukkan ciri-ciri Australomelanesoid. Selain itu juga ditemukan
kapak-kapak genggam yang berbeda dengan kapak genggam masa paleolitikum. Kapak
itu terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Nama kapak itu sering
disebut pebble atau kapak Sumatra. Kapak lainnya yang ditemukan adalah
kapak pendek (hache courte) dan batu-batu penggiling beserta landasannya
(pipisan). Pipisan selain digunakan untuk keperluan menggiling makanan, juga
digunakan untuk menghaluskan cat merah. Cat ini digunakan untuk acara keagamaan
atau ilmu sihir.
Van Stein
Callenfels juga menemukan gua-gua berbentuk ceruk terbuat dari batu-batu karang
dan berfungsi sebagai tempat tinggal (abris sous roche) pada tahun
1928-1931 di Gua Lawa dekat Sampung Ponorogo (Jawa Timur). Di dalam gua-gua
tersebut ditemukan peralatan seperti alat-alat tulang, alat serpih, dan panah
bergerigi yang menyerupai gergaji.
Daerah lain
yang menunjukkan terdapatnya kebudayaan mesolitikum adalah Lamoncong, daerah
orang-orang Toala (Sulawesi Selatan). Selama tahun 1893-1896 ada dua orang
bersaudara yang meneliti kehidupan orang-orang Toala yaitu Frtiz Sarasin dan
Paul Sarasin. Mereka menemukan alat-alat serpih dan alat-alat dari tulang.
Penyebaran
kebudayaan mesolitikum ini dapat juga ditemukan di gua-gua Flores antara lain
Liang Toge, Liang Momer, dan Liang Panas, gua-gua pulau Roti, dan gua-gua
daerah Soe di Timor.
Penelitian
yang dilakukan Von Koenigswald di dataran tinggi Bandung yaitu Padalarang,
Bandung Utara, Cicalengka, Banjaran, Soreang, dan Cililin menunjukkan bahwa di
sini banyak ditemukan alat serpih. Alat serpih ini terbuat dari batu indah
berwarna hitam yang disebut obsidian.
Persebaran
kebudayaan mesolitikum nampaknya berkaitan dengan kebudayaan Bascon-Hoabinh
di daerah Tonkin Indo-China. Sebab kebudayaan Bascon-Hoabinh memiliki banyak
persamaan dengan alat-alat batu dan alat-alat tulang yang ada di Indonesia.
Menurut penelitian, Tonkin itu merupakan pusat dan kebudayaan mesolitikum Asia
Tenggara. Kebudayaan tersebut masuk ke Indonesia melalui dua jalan, yaitu:
1. Jalan
Barat, yaitu dari Bascon-Hoabinh terus ke Thailand, Malaysia Barat, Sumatra
Timur yang membawa kapak genggam dan alat-alat dari tulang.
2. Jalan
Timur, yaitu dari Bascon-Hoabinh terus ke Luzon Filipina, Sulawesi, dan ke
Timor yang membawa kebudayaan alat serpih.
Kehidupan
masyarakat pada masa mesolitikum ini sudah mulai mengelompok. Mereka yang
tinggal di gua-gua melangsungkan kehidupan di sana selama di daerah sekitarnya
terdapat sumber-sumber hidup yang mencukupi untuk kebutuhan mereka. Apabila
kebutuhan mereka untuk hidup tidak lagi dapat dipenuhi oleh alam sekitar mereka
maka mereka akan berpindah mencari tempat yang baru. Mereka sudah mengenal
pembagian kerja. Pembagian kerja itu berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Perempuan mengurus anak-anak, membuat barang anyaman, mengumpulkan
sayur-sayuran, buah-buahan, dan binatang-binatang kerang. Sementara, orang
lelaki memburu binatang-binatang besar dan memerangi suku-suku yang memusuhi
mereka.
Selama
bertempat tinggal di dalam gua-gua, mereka selain mengerjakan alat-alat yang
diperlukannya juga melukiskan sesuatu di dinding-dinding karang atau gua dengan
menggunakan bahan-bahan cat yang berwarna seperti merah, hitam, atau putih.
Sumber inspirasi dari lukisan adalah cara hidup mereka yang serba tergantung ke
alam lingkungannya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan. Misalnya, lukisan
yang terdapat di dinding gua leang Pattae (Sulawesi Selatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar